Sebagai pribadi yang aslinya introvert boleh percaya boleh tidak sebetulnya saya kurang nyaman saat harus eksis di media sosial. Awalnya memiliki akun media sosial lebih karena latah dan supaya kekinian saja. Namun kemudian sejak mulai aktif ngeblog saya melihat hubungan yang sangat erat antara aktivitas ngeblog dengan media sosial.
Awalnya hanya punya akun di facebook, lalu kemudian memiliki akun di twitter dan terakhir di instagram. Tiga akun saja sih yang lumayan aktif, hmm rasanya cuma tiga dan mudah-mudahan tidak perlu bertambah lagi.
Karena kebutuhan untuk mendatangkan pengunjung menjadi semacam hal yang mutlak sejak memonetasi blog, maka sebetulnya kebutuhan saya akan media sosial memang lebih banyak dan utamanya untuk tujuan ini. Naah tapi kan kasihan friends dan follower saya kalau cuma dijejali link blog hehehe.
Memang seharusnya selain sarana sharing informasi dan konten blog, media sosial sebaiknya juga diselingi hal yang juga sifatnya personal dan sosial lainnya. Sekali-kali perlulah posting tentang anak-anak dan kebahagiaan menjadi Ibu mereka atau sebaliknya. Demikian juga hal-hal pribadi yang masih dalam batas wajar untuk dibagi kepada publik.
Saya bekerja di lembaga politik, saya berkelindan di pembentukan kebijakan bahkan undang-undang, tapi saya paling malas *baca tidak nyaman* membicarakannya di media sosial. Bukan abu-abu, bukan tidak punya sikap. Sikap saya justru dengan tidak menujukkannya pada publik tentang opini politik saya.
Mungkin saya lelah karena sering menyaksikannya langsung drama-drama politik dan kadang tahu sedikit banyak tentang skenarionya. Jadi saya lebih sering tidak menunjukkan sikap saya di lini masa. Kalau ada teman yang membincangkan kedua isu tersebut, jarang sekali saya ikut nimbrung. Cukuplah kegaduhan politik dan hukum yang saya saksikan di depan mata tidak perlu ikut gaduh di dunia maya.
Well, alasannya sangat personal ya. Tidak apa-apa bukan? Tanpa saya ikut-ikutanpun sudah cukup gaduh kan? Baiklah sekarang saya coba sampaikan alasan yang lebih masuk akal. Akal saya sih, gak tahu akal situ hehehe.
Saya menjadi lebih yakin untuk menahan diri dan menahan jari-jari saya saat berinteraksi di media sosial karena saya sendiri tidak tahu apakah sikap yang saya ambil adalah hal yang sepenuhnya benar. Hanya Allahlah yang paling benar dan tidak perlu diragukan kebenarannya. Jiyaa berat deh :) eh tapi beneran kok.
Contoh konkrit kontroversi pemilu atau pilkada. Saya memilih dan saya punya kecenderungan terhadap satu atau beberapa calon pilihan saya. Tapi saya tidak berusaha mempublikasikannya baik terang-terangan atau tidak. Apalagi ikut memojok-mojokkan yang bukan pilihan saya. Lhaa buat apa? yang saya pilihpun belum tentu yang paling benar, lebih benar, atau lebih baik dari yang tidak saya pilih. Mereka adalah manusia biasa seperti saya yang punya kekuangan selayaknya kelebihan.
Saat dia benar, kita dukung. Saat dia salah, ya kita tidak boleh menutup mata. Apakah juga pengetahuan kita terhadap orang tersebut sudah sedemikian menyeluruh hingga kita merasa demikian yakin akan kebenaran pilihan kita? Siapa yang menjamin. Saya memilih dan saya mau pilihan saya dihargai. Demikian sebaliknya saya harus juga menghargai pilihan orang lain (meski berbeda dengan saya).
Kalau ada yang menilai sebaliknya maka anggap saja sebagai sebuah kewajaran karena mungkin mereka punya sudut pandang yang berbeda, mereka punya pengetahuan yang berbeda dan mereka punya kecenderungan yang berbeda. Yakin kita akan berada dalam satu sikap saja? Yakinkah kita tidak akan berubah sikap? bukankah cinta dan benci hanya berjarak setipis kulit bawang? Tidak ada yang abadi selain perubahan itu sendiri.
Apalagi dunia politik, pagi tempe - sore dele itu biasa banget. Pukul 10 A, lalu pukul 10.15 F itu hal yang tidak aneh di dunia politik. Hmm trus ngapain sih sampe kehilangan teman, kehilangan saudara, kehilangan fans eeh hanya gara-gara hal yang sangat mungkin berubah dan kita tidak pernah sepenuhnya tahu kebenarannya. Jadi menjaga jari buat saya pilihan bijak yang harus kita coba. Bukan karena tidak berani bersikap. Tapi apapun anggapan orang lain saya bakal terima saja.
Jadi tentu saja tidak terlarang menunjukkan sikap politik kepada seantero jagat digital. Ekpresikan saja, hanya saja sewajarnya sajalah. Kekaguman jangan berlebihan demikian juga ketidakcocokkan jangan terlalu diumbar. Sebisa mungkin jangan sampai memendam benci apalagi menyemainya.
Bukan dilarang bersikap dan mempublikasikannya di seantero dunia maya lho. Boleh-boleh saja pastinya, hanya saja penting untuk menakar. Sewajarnya saja.
Apalagi sekarang semua kontroversi yang sedemikian heboh itu ternyata mungkin mayoritasnya merupakan komoditas yang sengaja diproduksi untuk menciptakan kekeruhan. Sengaja disebarluaskan untuk memecah belah sesama anak bangsa.
Ironisnya, di balik semua itu hanyalah soal uang. Ada sejumlah uang yang diputar dan diharapkan akan menangguk keuntungan dari kegaduhan yang terjadi. Sedih kan kalau kita sudah mensukseskan "jualan" segelintir orang yang mencari kuntungan dengan cara menggoreng ujaran kebencian dan hoax semacam kelompok Saracen yang belum lama dibekuk aparat.
Nah ini salah satu bukti nyata bahwa, sosial media yang ditujukan untuk tujuan-tujuan tertentu dapat terjerat beberapa pasal pidana dalam UU tentang ITE. Bahkan curhat yang dianggap tendensius dan menyerang pihak lain dapat berpotensi mendapat pidana. Tentu belum lupa dari ingatan kita kasus curhat Acho yang berujung diajukannya Acho ke ranah pidana. Terlepas dari kelanjutan kasus yang masih diproses ini tentunya harus membuat kita lebih mawas diri menggerakkan jari di media koumnikasi digital sekalipun.
Mari kita mencoba lebih bijak menggunakan jari-jari kita, bahkan sesederhana menekan tombol share. Iya kenapa tidak kita perbanyak dan sebarluaskan kehangatan dan kedamaian saja. Pasti akan jauh lebih bermanfaat. Hal-hal inspiratif yang membuat kita tetap waras.
Hmm oke itu untuk urusan yang berbau politik, kegaduhan di media sosial juga sangat beragam mulai dari urusan agama, politik, hingga urusan emak-emak atau bahkan sekedar pilihan makan bubur ayam diaduk atau tidak diaduk.
Kadang isu-isu yang selayaknya tidak perlu diributkan karena memang tidak mungkin semua orang punya pandangan dan pengalaman yang sama menjadi kontroversi yang demikian menghebohkan.
Lagi menyikapi secara bijak dan sewajarnya selayaknya selalu jadi pilihan kita. Jangan sampai kita adu otot di dunia maya. Calm wae lah... Sampaikan dengan cara yang elegan dan baik. Jangan terjebak cyin.
Bagaimana soal suatu kebenaran yang wajib kita dakwahkan meski hanya satu ayat. Saya memilih bahwa ini tentu menjadi kewajiban bagi setiap kita untuk menyampaikannya. tentu saja, sampaikanlah, dakwakanlah... dengan cara yang baik, sopan, dan lemah lembut. Dengan "hikmah dan mau'idzoh hasanah", dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik.
Kalau boleh mengutip firman Allah surat An Nahl ayat 125, yang bunyinya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ (النحل: 125)
“Serulah kepada jalan Tuhanmu dengan kebijaksanaan dan pengajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang baik pula. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia lebih mengetahui siapa yang sesat di jalan-Nya, dan Dialah yang lebih tahu siapa yang mendapat petunjuk”
Maha benar Allah dengan segala firmanNya. Allahu 'alam bahkan jika kita harus berbantahan, maka bantahlah dengan cara yang baik pula.
Saya percaya selain bukti nyata dengan sikap dan perbuatan yang santun dan penuh keteladanan layaknya yang dicontohkan Rasul S.A.W maka kata-kata yang baik dan penuh hikmahlah yang akan menyentuh ruang hati. Bukankah Allahlah pemilik semua hati yang dengan kuasaNya mampu dibolak-balikkan hati kita.
Terlebih jika kita menghadapi sesama saudara, sebangsa, setanah air, sesama anak dari Ibu Pertiwi. Tunjukkan keutamaan kita sebagai pengikut Nabi yang mulia dengan selalu menunjukkan sikap yang beliau contohkan. Rasul yang dari mulutnya tidak pernah ada yang terluka hatinya, bahkan Yahudi buta yang setiap hari meludahi dan mencaci makinya. Rasul yang dengan tangannya menyuapi sang Yahudi yang sedemikian membencinya. Shalli wa sallim alaihi.
Entah mengapa saya ingin sekali berbagi hadits shahih yang berikut ini.
Hadis riwayat Abu Musa ra., ia berkata: Aku pernah bertanya: Wahai Rasulullah, Islam manakah yang paling utama? Rasulullah saw. bersabda: Orang yang kaum muslimin selamat dari lisan dan tangannya. (HR Muslim) .
To sum up, mari gunakan jari kita dengan lebih bijak di media sosial, yuuk jangan sampai terjebak. Ada yang punya tips khusus untuk menahan jari kita kezaliman bermedia sosial? Sharing yuuk :)
Boleh juga nih dibaca tips bermedia sosial buat yang memiliki anak-anak remaja agar mereka bisa lebih bijak dalam menggunakan media sosialnya. Klik di sini yaa